MENGELOLA SUMBERDAYA ALAM SECARA ISLAMI


              
Semua orang tahu, alam Indonesia sangat kaya. Areal hutannya termasuk paling luas di dunia, tanahnya subur, dan alamnya indah. Indonesia juga adalah negeri yang memiliki potensi kekayaan laut luar biasa. Wilayah perairannya sangat luas; kandungan ikannya diperkirakan mencapai 6,2 juta ton, belum lagi kandungan mutiara, minyak, dan kandungan mineral lainnya; di samping keindahan alam bawah lautan. Dari potensi ikan saja, menurut Menteri Kelautan, bisa didapat devisa lebih dari 8 miliar US dolar setiap tahunnya. Sementara itu, di daratan terdapat berbagai bentuk barang tambang berupa emas, nikel, timah, tembaga, batubara, dan sebagainya. Di bawah perut bumi sendiri tersimpan gas dan minyak cukup besar. Kandungan emas di bumi Papua yang kini dikelola PT. Freeport Indonesia, misalnya, konon termasuk yang terbesar di dunia. Tidak aneh bila McMoran Gold and Coper, induk dari PTFI, berani membenamkan investasi yang sangat besar untuk mengeruk emas dari bumi Papua itu sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
            Akan tetapi, semua orang juga tahu, kini Indonesia terpuruk menjadi negara miskin. GNP perkapitanya hanya sedikit lebih banyak dari Zimbabwe, sebuah negara miskin di Afrika. Sudahlah rakyatnya miskin, utang negara luar biasa besar; disebut-sebut lebih dari Rp 1400 triliun rupiah. Sebanyak Rp. 742 triliun rupiah di antaranya berupa utang luar negeri, sisanya adalah utang dalam negeri (Forum, 05/03/2002). Pertanyaannya, siapa yang harus menanggung beban utang yang demikian besar itu? Tidak lain, tentu saja adalah rakyat Indonesia sendiri. Hal ini tampak pada pos penerimaan dalam APBN tahun 2002 dari sektor pajak yang mencapai sekitar 70 persen. Itu artinya, rakyat jugalah yang harus menanggung beban keterpurukan ekonomi Indonesia. Jika kondisi seperti ini tidak segera dibenahi, boleh jadi akan timbul bencana ekonomi yang lebih berat dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pertanyaannya, mengapa hal itu bisa terjadi?
Pengelolaan SDA di Indonesia
            Menurut laporan Walhi yang diterbitkan tahun 1993, rata-rata hasil hutan di Indonesia setiap tahunnya ketika itu adalah 2,5 miliar US dolar (Kini diperkirakan mencapai sekitar 7-8 miliar US dolar, Kompas, 10/02/2001). Dari hasil sejumlah itu, yang masuk ke dalam kas negara hanya 17 persen, sedangkan sisanya yaitu sebesar 83 persen masuk ke kantong pengusaha HPH (Sembiring, 1994).
PT Inhutani, BUMN di bawah pengelolaan teknis Dephutbun pernah meneliti bahwa eksploitasi hutan melalui pola HPH ternyata telah menimbulkan kerusakan lebih dari 50 juta hektar. Kerusakan itu makin menggila karena sering pula pengusaha hutan melakukan ijon. Pada waktu HPH masih dalam proses atau dalam taraf surat keputusan pencadangan, mereka sudah melaksanakan transaksi dan mendapat fee dari mitra asing tersebut. Pada fase inilah terjadinya penjualan/penggadaian hutan Indonesia dengan mengabaikan segala aspek kelestarian dan fungsi sosial hutan. Inilah proses pembabatan hutan tropis di Indonesia melalui tebang habis Indonesia (THI). Akhirnya, rakyat yang memiliki hutan itu tidak kebagian apa-apa. Kini, setelah puluhan juta hutan dibabat habis, rakyat masih harus terus menanggung derita akibat hutang negara yang berjibun jumlahnya.
            Kini areal kerusakan hutan mencapai luas 56,98 juta hektar. Untuk merehabilitasinya, Indonesia memerlukan dana Rp 225 triliun. Sementara itu, dana reboisasi (DR) di APBN hanya dianggarkan Rp 7 triliun saja (Kompas, 23/10/ 2000). Itupun masih akan bertambah karena kerusakan hutan di Indonesia kini diperkirakan mencapai 1,6 juta hektar pertahun. Menurut data World Bank, jika kondisi ini terus berlangsung, hutan di Sumatera akan punah 2005, sedangkan hutan di Kalimantan akan punah pada tahun 2010.
Sementara itu, dalam bidang perminyakan, hampir semua sumur minyak di Indonesia telah dikuasai oleh perusahaan raksasa minyak asing yang merupakan perusahaan multinasional seperti Exxon (melalui Caltex), Atlantic Richfield (melalui Arco Indonesia), dan Mobil Oil. Selebihnya, Pertamina yang memproduksi. Dalam skala lebih kecil, belakangan muncul pengusaha-pengusaha swasta nasional yang ikut terjun dalam bisnis minyak bumi seperti Arifin Panigoro dengan Medco-nya, Tommy Soeharto dengan Humpuss-nya, Ibrahim Risjad, Srikandi Hakim, dan Astra International. (SWA, April-Mei, 1996).
          Dalam bidang pertambangan, Indonesia juga dikenal sebagai negara kaya. Dengan besarnya potensi tambang ditambah dengan aturan-aturan yang menguntungkan, Indonesia dengan mudah menarik investor asing untuk menanamkan modalnya. Tahun 1967, PT Freeport Indonesia (FI) memulai Kontrak Karya generasi I (KK I) untuk konsesi selama 30 tahun.
Pada tahun 1988, secara tak terduga, FI menemukan deposit emas yang sangat besar di Grasberg, diperkirakan mencapai 72 juta ton. Kemudian mereka mengajukan pembaruan KK selama 30 tahun dan bisa diperpanjang dua kali 10 tahun. FI mendapat KK V bersama 6 perusahaan tambang lainnya. Berbeda dengan KK I, produk utama FI adalah emas, bukan hanya tembaga. Menurut Econit, royalti yang diberikan FI ke pemerintah tidak berubah, hanya 1-3,5 persen sehingga penerimaan pemerintah dari pajak, royalti, dan deviden FI hanya US$ 479 juta (SWA, 1997). Jumlah itu tentu masih sangat jauh dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh FI sekitar US$ 1,5 miliar (tahun 1996), yang dipotong 1 persen untuk dana pengembangan masyarakat Irian yang ketika itu sekitar US$ 15 juta. (Gatra, 10/1998).
Pengelolaan SDA dalam Perspektif Islam
          Dalam pandangan Islam, hutan dan barang tambang adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara yang hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum.
Pendapat bahwa sumberdaya alam milik umum harus dikelola oleh negara yang hasilnya diberikan kepada rakyat dikemukakan oleh An-Nabhani berdasarkan pada hadis riwayat Imam at-Turmidzi dari Abyadh bin Hamal. Dalam hadis tersebut, disebutkan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul meluluskan permintaan itu, tetapi segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu).” Rasulullah kemudian bersabda:
“Tariklah tambang tersebut darinya.”
       Hadis tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir.
Yang menjadi fokus dalam hadis tersebut tentu saja bukan “garam”, melainkan tambangnya. Penarikan kembali pemberian Rasul kepada Abyadh adalah ‘illat (latar belakang hukum) dari larangan atas sesuatu yang menjadi milik umum-termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya sangat banyak-untuk dimiliki individu. Dalam hadis yang dituturkan dari Amr bin Qais lebih jelas lagi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan garam di sini adalah tambang garam (ma’dan al-milh).
      Menurut konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar-baik yang tampak sehingga bisa didapat tanpa harus bersusah payah seperti garam, batubara, dan sebagainya ataupun tambang yang berada di dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan usaha keras seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, timah dan sejenisnya; baik berbentuk padat semisal kristal ataupun berbentuk cair, semisal minyak-termasuk milik umum, artinya semuanya adalah tambang yang termasuk dalam pengertian hadis di atas.
     Demikian juga benda-benda yang sifat pembentukannya tidak bisa hanya dimiliki oleh pribadi; juga termasuk milik umum. Meski termasuk dalam kelompok pertama, karena merupakan fasilitas umum, benda-benda tersebut berbeda dengan kelompok yang pertama dari segi sifatnya sehingga ia tidak bisa dimiliki oleh individu. Berbeda dengan kelompok pertama, yang memang boleh dimiliki oleh individu. Air, misalnya, mungkin saja dimiliki oleh individu, tetapi bila suatu komunitas membutuhkannya, individu tidak boleh memilikinya. Berbeda dengan jalan, sebab jalan memang tidak mungkin dimiliki oleh individu.
   Karena itu, sebenarnya pembagian ini - meskipun dalilnya bisa diberlakukan illat syar’iyah, yaitu keberadaannya sebagai kepentingan umum - esensi faktanya menunjukkan bahwa benda-benda tersebut merupakan milik umum (collective property); seperti jalan, sungai, laut, dana, tanah-tanah umum, teluk, selat dan sebagainya. Yang juga bisa disetarakan dengan hal-hal tadi adalah masjid, sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan, tempat-tempat penampungan dan sebagainya.
      Al-‘Assal dan Karim (1999: 72-73), mengutip pendapat Ibn Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni, mengatakan yang intinya menjelaskan bahwa barang-barang tambang adalah milik orang banyak meskipun diperoleh dari tanah hak milik khusus. Karena itu, siapa saja yang menemukan barang tambang atau minyak bumi pada tanah miliknya tidak halal baginya untuk memilikinya dan barang tambang tersebut harus diberikan kepada negara untuk dikelola.
Pemasukan Negara
   Dengan memahami ketentuan syariat Islam atas status sumberdaya alam dan bagaimana sistem pengelolaannya bisa didapat dua keuntungan sekaligus, yakni: (1) didapatnya sumber pemasukan bagi anggaran belanja negara yang cukup besar untuk mencukupi berbagai kebutuhan negara; (2) diharapkan mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap utang luar negeri bagi pembiayaan pembangunan negara.
Dalam sistem ekonomi Islam, menurut An-Nabhani (1990), negara mempunyai sumber-sumber pemasukan tertentu yang telah ditetapkan oleh syariat melalui Baitul Mal. Baitul Mal adalah kas negara untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran harta yang dikelola oleh negara. Mekanisme pemasukan maupun pengeluarannya ditentukan oleh syariat Islam. Pemasukan dan pengeluarannya Kas Baitul Mal adalah:
    Sektor kepemilikan individu. Pemasukan dari sektor kepemilikan individu ini berupa zakat, infak, dan sedekah. Untuk zakat, karena kekhususannya, harus masuk kas khusus dan tidak boleh dicampur dengan pemasukan dari sektor yang lain. Dalam pengeluarannya, khalifah (kepala negara dalam pemerintahan Islam) harus mengkhususkan dana zakat hanya untuk delapan pihak, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh al-Quran surah at-Taubah ayat 60.
     Sektor kepemilikan umum. Sektor ini mencakup segala milik umum seperti hasil tambang, minyak, gas, listrik, hasil hutan, dsb. Pemasukan dari sektor ini dapat digunakan untuk kepentingan: (a) Biaya eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam; mulai dari biaya tenaga kerja, pembangunan infrastruktur, penyediaan perlengkapan, hingga segala hal yang berhubungan dengan dua kegiatan pengelolaan sumber daya alam di atas. (b) Dibagikan secara langsung kepada masyarakat yang memang merupakan pemilik sumberdaya alam. Khalifah boleh membagikannya dalam bentuk benda yang memang diperlukan seperti air, gas, minyak, listrik secara gratis; atau dalam bentuk uang hasil penjualan. (c) Sebagian dari kepemilikan umum ini dapat dialokasikan untuk biaya dakwah dan jihad.
   Sektor kepemilikan negara. Sumber-sumber pemasukan dari sektor ini meliputi fa’i, ghanimah, kharaj, seperlima rikaz, 10 persen dari tanah ‘usyriyah, jizyah, waris yang tidak habis dibagi dan harta orang murtad. Untuk pengeluarannya diserahkan pada ijtihad khalifah demi kepentingan negara dan kemashlahatan umat.
Khatimah
    Jelas sekali, pemerintah harus memanfaatkan seoptimal mungkin sumberdaya alam negeri ini yang sesungguhnya sangat melimpah itu. Harus ada strategi baru dalam memanfaatkan sumberdaya itu. Namun demikian, strategi apa pun tidak akan dapat berjalan jika tetap berada dalam kontrol undang-undang dan peraturan yang bersumber dari sistem kapitalisme-sekular seperti sekarang ini. Sudah saatnya, pengelolaan sumberdaya alam diatur dengan undang-undang dan peraturan yang bersumber dari syariat Allah, Zat Yang Mahatahu atas segala sesuatu, yang pasti jauh lebih mengetahui apa yang terbaik bagi manusia. Karena itu, marilah kita renungkan kembali ayat berikut:
     Apakah (sistem) hukum jahiliyah) yang mereka kehendaki. (Sistem) hukum siapakah yang lebih baik dari pada (sistem) hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).