|
Nilai Strategis al-Insan
Amanah kemuliaan
Pada wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, Allah
Rabbul-'Izzati memperkenalkan diri-Nya dengan sebutan al-Khaliq,
Pencipta. Sedangkan selain Dia disebut makhluq, yang dicipta.
Kedua kata, khaliq dan makhluq berakar dari kata kerja kha-la-qa, yang
mempunyai dua bentuk masdar, yaitu khalqan dan khuluqan.
Khalqan bermakna penciptaan yang bersifat fisik, sedangkan khuluqan
adalah penciptaan yang bersifat kejiwaan atau ruhiyah.
Kata khuluqan itulah yang kemudian dapat dikembangkan menjadi khuluq
atau dalam bentuk jamaknya akhlaq, sebagaimana yang banyak dikenal
dalam khazanah Islam.
Manusia dalam bahasa arabnya adalah "Insan" , bentuk jama' dari anas
atau anis, yang artinya harmonis atau seimbang.
Disebut demikian karena manusia yang baik adalah yang mampu
menyeimbangkan antara penciptaan fisik dan non-fisiknya.
Antara raga dan jiwanya, walaupun sebenarnya jiwa manusia itu tidak
klop dengan tuntutan fisiknya.
Elemen penting bernama Nafsu
Bagi ruh, kebutuhan manusia yang berupa fisik itu sangat asing baginya.
Ruh sulit menerima kenyataan jika manusia bekerja mati-matian untuk
kemudian memakan hasilnya,
dan setelah itu mengeluarkannya lagi dalam bentuk sampah atau limbah
yang berbau tak sedap itu. Bagi ruh, apa bedanya hal itu dengan seekor
binatang?
Akan tetapi Allah berkehendak lain. Pada diri manusia dihimpun potensi
ruh dan fisik dalam satu kesatuan. Walaupun keduanya merupakan benda
yang asing,
tapi keduanya dijembatani dengan penciptaan nafsu pada diri manusia.
Nafsu inilah yang bisa memberi pengertian kepada ruh tentang hajat
hidup fisik manusia.
Tanpa nafsu, keduanya tidak pernah saling bertemu dan tidak pernah
bisa menyatu. Sedemikian besar peran nafsu pada diri manusia. Allah
menciptakan nafsu tidak sia-sia, sebagaimana tidak sia-sianya
penciptaan jiwa dan raga.
Semua alat kelengkapan manusia, seperti panca indera sampai yang
paling remeh sekalipun semuanya ada manfaatnya.
Usus buntu yang seringkali mengganggu manusia sehingga harus dioperasi
dan dibuang oleh dokter, pasti ada manfaatnya.
Tidak mungkin Allah menciptakan usus buntu tanpa maksud dan tujuan
apa-apa. Semua diciptakan secara benar. Allah berfirman:
"Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan
langit dan bumi dengan haq?" (Ibrahiim: 19)
Penciptaan manusia yang terdiri dari jiwa dan raga merupakan puncak
dari sebuah karya Tuhan yang luar biasa.
Manusia adalah satu-satunya makhluq misterius yang sampai kapanpun
misterinya tak mungkin dapat disingkap oleh siapapun juga, termasuk
oleh ilmuwan dan profesor yang paling botak sekalipun.
Jangankan unsur jiwanya, sedangkan unsur fisiknya saja sudah sulit
untuk diungkap secara tuntas. Sel-sel yang ada pada diri manusia,
juga syaraf-syaraf yang berjalin-berkelindan antara satu dengan
lainnya dalam jumlah jutaan bahkan milyaran, sungguh rumit dan canggih.
Belum lagi mengenai jiwa manusia.
Untuk sekadar mendefinisikan "apakah tertawa itu?" sudah sulit bagi
kita untuk merumuskannya. Kita hanya mengetahui gejala kejiwaan bukan
jiwanya.
Kita mengatahui seseorang sedang bergembira karena terlihat ia sedang
tertawa, padahal tidak semua orang yang tertawa itu sedang bergembira,
sebagaimana tidak semua orang yang menangis itu sedang bersedih hati.
Contoh sederhananya, kita dapat menyaksikan di bandar udara atau
pelabuhan laut. Seorang ibu yang sedang menjemput anaknya tiba-tiba
menangis dengan memeluk erat-erat setelah keduanya bertemu.
Apakah si ibu tadi sedang bersedih? Tidak. Justru saking gembiranya
sehingga keduanya menangis.
Belum lagi jika ditanyakan, sesunguhnya siapakah yang menguasai tawa
dan tangis itu? Seorang yang sedang bersedih hati
karena ditinggal mati oleh orang yang sangat dicintainya tidak bisa
dipaksa untuk tertawa. Berapapun pelawak dan ahli humor didatangkan
untuk membuat tawa pada suasana seperti itu pasti tidak sanggup.
Bahkan yang muncul kemudian adalah kemarahan dan kebencian yang luar
biasa. Seorang yang sedang sakit gigi tidak bisa diajak tertawa oleh
siapapun,
bahkan mendengar suara sedikit berisik saja sudah timbul marah-marah.
Al-Qur'an memberi jawaban bahwa yang menguasai tawa dan tangis itu
hanya Allah. Dia-lah yang memegang kekuasaan atas jiwa manusia. Alah
berfirman:
"Dan bahwasanya Dia-lah yang menjadikan orang tertawa dan menangis."
(an-Najm: 43)
Karena Allah yang menciptakan jiwa dan raga manusia, yang menguasai
dan mengaturnya, jelas hanya Dia semata yang tahu persis tentang
hakekat manusia yang sebenarnya.
Baik fisik maupun psikisnya, kebutuhan maupun martabatnya.
Sesungguhnya ilmu yang diajarkan Allah kepada manusia hanyalah
terbatas pada pemberian nama-nama terhadap segala sesuatu yang sudah
ada saja,
sementara tentang hakekat keberadaan benda itu sendiri adalah urusan
ilmu Allah.
Allah Swt dalam surat al-Baqarah 31 menyatakan hal ini, "Dan Ia
ajarkan kepada Adam nama-nama segala sesuatu".
Ketika Newton `menemukan' hukum gravitasi, bahwa segala sesuatu yang
dilempar ke atas jatuhnya akan kembali ke bumi karena adanya gaya
tarik bumi.
Sebenarnya hakikat keadaan atau sunnatullah tersebut telah ada sejak
bumi ini diciptakan Allah. Hanya kebetulan Newton yang memperhatikan
peristiwa alam tersebut,
kemudian ia merangkaikannya dalam sebuah kalimat baku yang disebut
rumus, dan dia menamainya dengan `gravitasi'.
Yang ia kerjakan bukanlah membuat sebuah hakikat, namun ia hanya
menentukan nama beserta definisi perumusannya dalam sebuah tata
kalimat.
Itu sebabnya jika manusia ingin mengetahui dimana posisi martabatnya
yang sebenarnya, maka tak ada jalan lain kecuali mempelajarinya dari
wahyu Allah.
Dikatakan oleh Dr Ir Hidayat Nataatmadja dalam bukunya "Ilmu Humanika",
"Manusia sebagai subyek, sebagai makhluk spiritual,
tidak bisa dipelajari dengan ilmu obyektif atau sains. Karena itu
definisi mengenai manusia sebagai subyek harus dicari dari ajaran
agama."
Beruntunglah kita karena telah diciptakan Allah Swt sebagai manusia.
Bagaimana seandainya Dia menciptakan kita sebagai ular, buaya, atau
monyet?
Kuasakah kita menolaknya? Sama sekali tidak. Dan keadaan seperti itu
sama sekali tak kan terbayang di benak kita, saking hinanya.
Inti al-Insan
Maha Suci Allah, yang telah menciptakan manusia dengan kondisi yang
terbaik, dari keseluruhan hakekatnya. Secara jelas, martabat manusia
telah diterangkan dalam Al Qur'an antara lain :
1. Sebagai Makhluk yang terbaik
Difirmankan Allah dalam surat at-Tiin 4, "Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam sebaik-baik kejadian".
Harus kita sadari bahwa tak akan pernah ada imajinasi hebat yang bisa
menandingi kesempurnaan kejadian manusia.
Ada banyak seniman terkenal, yang berusaha merekayasa bentuk makhluk
lain selain manusia, katakanlah sebagai makhluk angkasa luar.
Sepandai-pandainya mereka berkreasi, pernahkah ada gambaran yang lebih
cantik dan gagah dari pada manusia?
Semisal gambaran makhluk dengan mata tiga, telinga runcing, tangan
empat, berekor panjang, bermuka dua depan dan belakang, atau berbadan
manusia berkaki hewan, bisakah menandingi kesempurnaan bentuk manusia?
Sejak dulu, kini dan sampai kapanpun, tak akan pernah ada rekayasa
bentuk makhluk lain hasil pikiran manusia yang bisa menandingi
kesempurnaan hasil ciptaan Allah yang satu ini.
2. Sebagai makhluk yang termulia
Difirmankan pula oleh Allah Swt dalam Surat al-Isra' ayat 70, "Dan
sesungguhnya Kami telah memuliakan Bani Adam dan telah Kami beri
mereka kendaraan di darat dan di laut,
dan telah Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik serta telah Kami
lebihkan mereka atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan
dengan sebenar-benarnya lebih."
Jelas, kedudukan dan martabat manusia lebih mulia dari makhluk apapun,
walau malaikat sekalipun. Bahkan Allah Swt telah memilihnya sebagai
khalifah di atas bumi ini!
Bukankah itu sebuah penunjukan yang mutlak membuktikan ketinggian
derajat manusia?
Malaikat sendiri pernah melakukan protes terhadap pengangkatan jabatan
khalifah kepada manusia ini, karena merasa dirinya pun mampu
menandingi kehebatan manusia.
Dan secara bijaksana Allah telah memberi kesempatan kedua makhluk ini
untuk unjuk gigi, memperlihatkan kemampuannya.
Ternyata yang keluar sebagai pemenang dalam pertandingan ini adalah
manusia. Dan akhirnya dengan ikhlas malaikatpun menerima keunggulan
manusia tersebut,
dan bersujudlah mereka "sebagai tanda hormat" kepada Adam. Pembuktian
ini diterangkan Allah dalam al-Qur'an, surat al-Baqarah 30-34.
Begitu pula dikisahkan dalam al-Qur'an surah al-Ahzab ayat 72, bahwa
pernah Allah menawarkan amanah besar kepada langit, bumi dan gunung,
namun semua menolak karena merasa tak mampu.
Ternyata justru manusialah yang mau menerima amanah tersebut. Dan
Allah pun memberikan amanah itu kepada manusia, karena tahu persis
bahwa memang manusia memiliki kemampuan untuk memikulnya.
Allah tahu persis, bahwa manusia memiliki kemampuan yang lebih dari
pada gunung yang tinggi besar menjulang,
yang gejolak dan api panasnya bahkan mampu menghancur leburkan ratusan
kilometer lokasi di sekitarnya.
Ternyata, manusia banyak diuntungkan dengan peristiwa itu karena
bekas-bekas kehancuran gunung berapi tersebut bahkan sangat bermanfaat
bagi manusia,
karena bermanfaat menjadi lahan yang amat subur. Ketinggian dan
kekokohan gunung pun bisa dikalahkan manusia hanya dengan ledakan bom,
sehingga manusia bisa menembus dan membuat jalur kereta api melintasi
gunung, bisa memanfaatkannya pula sebagai tempat wisata yang indah,
dan mampu meghindarkan dirinya dari bencana gunung berapi akibat
kecanggihan peralatan yang berhasil dirakit otak manusia.
Siapa yang menang, manusia atau gunung? Manusia melawan langit? Juga
menang manusia. Luasnya langit telah berhasil dijangkau manusia dengan
burung-burung besi ciptaannya.
Bahkan keberadaan langit yang memisahkan bumi dengan luar angkasa pun
telah mampu ditembus oleh manusia dengan roket dan pesawat angkasa
luarnya.
Begitupun dengan bumi, yang besarnya tak terkira dibanding seorang
manusia dengan otaknya yang teramat kecil, pun bisa kalah karena
kepandaian si otak.
Menembus bumi, menghisap dan mengambil benda-benda berharga yang
tertanam berkilometer di dalam bumi sudah bisa dilakukan manusia
dengan mudah.
Dengan memanfaatkan bagian atas bumi pun manusia bisa bertahan hidup
hingga berpuluh-puluh tahun. Bukankah itu semua sudah cukup
membuktikan ketingian martabat manusia dibanding ciptaan apapun
selainnya?
Wallahu a`lam
wassalam
bul_bul/medi
source: Email
Ch_islamica@groups.yahoo.com |